Sesjen MPR: Pebedaan Bukan Persoalan Satu Pihak Benar Dan yang Lain Salah

Jakarta, liputan.co.id – Usai Pilkada DKI Jakarta, masyarakat dan bangsa Indonesia dihadapkan pada berbagai persoalan terkait perbedaan. Perdebatan bahkan sampai konflik keras terutama di ranah media sosial antar-elite politik sampai antar-rakyat di warung kopi mengerucut pada persoalan perbedaan atau SARA yang semestinya tidak dibicarakan kembali di negeri ini.
Berbagai elemen masyarakat sangat khawatir hal itu menjadi meluas dan bermetamorfosis berpotensi memecah persatuan bangsa yang sudah susah payah dibangun para founding fathers Bangsa Indonesia.
Sekretaris Jenderal MPR RI Ma’roef Cahyono sebagai salah satu elemen masyarakat Indonesia berpandangan, semestinya persoalan perbedaan tidak perlu dipermasalahkan lagi. Masyarakat Indonesia memang sangat beragam. Bahkan keberagaman itulah yang membentuk negara Indonesia. Keberagaman adalah kekayaan bangsa. Keberagaman menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah dan proses perjalanan Bangsa Indonesia.
“Persoalan intoleransi, radikalisme yang muncul pastinya disebabkan faktor tertentu dan ada pemicu memunculkannya, faktor tersebut antara lain, cara pandang soal kesenjangan dan ketidakadilan oleh sebagian kelompok,” kata Ma’roef, saat berbincang dengan Kombes Yoyok Subagio dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisan (PTIK), di ruang kerjanya, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis lalu.
Pemahaman soal perbedaan atau keberagaman, lanjut Ma’roef, mestinya diselaraskan secara filosofis bahwa perbedaan bukan persoalan satu pihak benar dan yang lain salah. Perbedaan atau keberagaman adalah sesuatu yang alamiah dan harus sama-sama dipahami betul bahwa perbedaan itu sebagai kondisi yang biasa saja natural dalam masyarakat.
Di sisi lain, Ma’roef juga memperhatikan fenomena media sosial yang sangat bebas sekarang ini dan mampu mewarnai bahkan mempengaruhi setiap peristiwa di tengah masyarakat.
“Media sosial sudah menjadi instrumen publik dan instrumen negara untuk melakukan ‘engineering’ tujuan negara. Tujuan negara ini bersifat ideologis, regulatif dan seharusnya media sosial menjadi jembatan pada masyarakat untuk menciptakan suasana sesuai ideologi bangsa, dan konstitusi,” imbuhnya.
Ma’roef menegaskan, media sosial harus produktif bukan kontra produktif. Hal tersebut akan membantu upaya negara dalam menciptakan satu kondisi yang orientasinya kepada kesejahteraan masyarakat.
“Dampak jangka pendek dan jangka panjang media sosial bisa sangat luar biasa, sebab bisa mengganggu aktivitas secara nasional bila pemberitaan media sosial simpang siur dan membentuk pola pikir. Kalangan generasi muda adalah satu elemen bangsa yang sangat rentan terpengaruh dan akan berdampak pada perilaku mereka. Ini sangat disayangkan, media sosial jangan seperti itu, tapi di sisi lain media sosial akan berdampak positif, bila berkampanye positif pula untuk masyarakat,” terangnya.
Media sosial, lanjut Ma’roef, sekali lagi bisa menjadi kontra produktif manakala tidak dipergunakan dengan baik. Dan itu sangat disayangkan, di tengah upaya pembangunan negara dan dalam arti luas juga pembangunan karakter bangsa.
“Sehingga sudah saatnya ada instrumen untuk menjembatani dari negara kepada masyarakat yang harus dipayungi dengan kebijakan tepat sesuai kondisi masyarakat dan kondisi negara terus menerus. Ini cara merawat konstitusi kalau di MPR, kami sebut Empat Pilar,” katanya.
Dalam kesempatan tersebut, Ma’roef Cahyono juga membahas seputar UU ITE. UU ITE merupakan upaya positif dari pemerintah, tentang pembenahan teknologi, meskipun dalam perjalanannya beberapa elemen masyarakat masih melihat beberapa kendala atau kekurangan.
“Tapi, menurut saya dalam perjalanannya, bila ada yang kurang bisa diperbaiki. Sejauh ini baik-baik saja, contohnya untuk menjaring pelaku radikalisme sejauh ini terlihat efektif. Jika ada sistem, aturan dan lain-lain yang dirasa belum sempurna dan terkait kebutuhan masyarakat, harus berubah, dan disesuaikan,” tandasnya.

Komentar