Profesor Hamdi: Bimbingan Skripsi Ke Apartamen juga Langgar Etika

Jakarta, Liputan.co.id – Pejabat publik harus punya kualifikasi khusus antara lain sudah selesai dengan dirinya sendiri. Kalau kualifikasi tersebut tidak terpenuhi, besar kemungkinan ketika seseorang dijabatan publik akan sibuk dengan urusan pribadinya sendiri.

Hal tersebut dikatakan Guru Besar Psikologi Politik dari Universitas Indonesia (UI), Profesor Hamdi Muluk, di Media Center Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Senin (23/10/2017).

“Pejabat publik itu harus punya kualifikasi yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Kalau pejabat publik masih sibuk dengan urusan pribadinya soal harta benda, repot kita,” ujar Hamdi,

Dia jelaskan, dalam praktiknya terlalu banyak pejabat publik yang tidak lolos kualifikasi selesai dengan dirinya. Indikasinya kata Hamdi, relatif banyaknya pejabat Negara dan Pemerintahan di negeri ini yang terjerat dalam kasus tindak pidana korupsi.

“Pejabat publik yang korupsi itu, di samping telah melanggar undang-undang, juga melabrak etiket dan etika. Begitu juga dengan Anggota DPR misalnya, belum selesai rapat tapi sudah meninggalkan ruangan rapat untuk urusan pribadinya juga melanggar etikat,” tegasnya.

Begitu juga dengan para dosen lanjutnya, yang semestinya memberikan bimbingan skripsi di kampus tapi meminta mahasiswinya datang ke apartamen dengan alasan akademik. “Ini juga melanggar etika dan sangat mungkin terjadi hal-hal yang diinginkan,” ujarnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan pengertian “etiket” dengan “etika”. Etiket menurutnya, sama dengan tatakrama, sopan santun. “Jadi ukurannya kepantasan,” ujar Hamdi.

Sedangkan etika juga bicara soal kepantasan tapi lebih substansial dalam ukuran moralitas. “Ukurannya, apa sesuatu baik atau tidak baik?, apakah secara moral bisa dibenarkan?. Semua itu ada standarnya yang tertuang dalam kode etik,” jelasnya.

Untuk memperjelas batasan etiket dengan etika ini, Profesor Hamdi mencontohkannya dengan prilaku kepala daerah yang marah-marah di depan publik.

“Wali Kota Surabaya Bu Risma (Tri Rismaharini,red) marah-marah misalnya. Secara etika sudah benar, tapi secara etiket tidak,” pungkasnya.

Komentar