PPP Pertanyakan Tambahan Pimpinan MPR Jatah PKB

Jakarta, liputan.co.id – Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Arsul Sani menyatakan masalah kursi tambahan pimpinan MPR RI yang akan diberikan kepada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) bukan soal legowo atau tidak, tapi terkait dengan partai mana yang berhak menurut hukum.

“Ini bukan persoalan tidak legowo tidak mendapatkan kursi itu, ini persoalan hukum,” kata Arsul, di Jakarta, Jumat (16/3).

Soal siapa yang berhak atas kursi tambahan pimpinan MPR itu ujar dia, sebaiknya PKB mengkajinya dengan nalar dan ilmu perundang-undangan, bukan dengan emosi.

“Saya hanya mengingatkan saja agar jangan jadi kasus di belakang hari yang menambah panjangnya deret kasus tentang anggota atau pimpinan di DPR/MPR. Jadi ini gak ada urusannya dengan PPP nggak legowo karena dapat kursi,” katanya.

Ilmu perundang-undangan yang dimaksud oleh anggota Komisi III DPR itu adalah tentang metode penafsiran bunyi atau kata-kata dalam suatu produk hukum seperti UU MD3 ini.

Menurut Arsul, untuk memahami bunyi UU melalui jalan penafsiran, maka tidak bisa dengan semaunya sendiri, melainkan harus menggunakan satu atau lebih metode penafsiran hukum yang dikenal. Diantaranya dengan metode tata bahasa (gramatikal) atau metode authentik.

Penafsiran PKB bahwa kalimat “partai yang memperoleh suara terbanyak di DPR urutan keenam” artinya sama dengan “partai yang memperoleh kursi terbanyak di DPR urutan keenam” pada Pasal 427A huruf c adalah penafsiran yang tidak ada basis metodenya alias cara penafsiran “semaunya”.

“Dari sisi tata bahasa atau diksi yang dikenal dalam ilmu kepemiluan maka antara kata “suara” dengan kata “kursi” adalah dua kata yang berbeda maksudnya dan tidak pernah dipergunakan secara bergantian (exchangeable).

Perolehan suara dengan perolehan kursi adalah dua diksi yang berbeda dalam ilmu kepemiluan. Karena itu tidak bisa diklaim sebagai hal yang sama.

Lebih lanjut Arsul menyatakan jika memang maksud Pasal tersebut sama, maka logikanya mengapa pula tidak menggunakan saja secara tegas kata “perolehan kursi”, bukan “perolehan suara”. Dengan demikian menutup ruang penafsiran yang berbeda.

Arsul juga menyatakan bahwa ia menyampaikan hal tersebut dalam kapasitasnya sebagai anggota Komisi Hukum dan Badan Legislasi yang punya tanggung jawab moral agar nantinya status atau kedudukan seorang pimpinan MPR tidak dipersoalkan secara hukum di kemudian hari.

“Apalagi jika yang dipersoalkan menyangkut dasar penggunaan fasilitas negara atau alokasi anggaran yang melekat pada  jabatan,” katanya.

Komentar