Sudahi Polemik Impor Jagung

Jakarta – Kebijakan pemerintahan Joko Widodo, khususnya di sektor pangan belakangan ini silih berganti menjadi bahan perbincangan berbagai pihak. Beberapa media massa nasional terus memuat narasi-narasi yang mempertanyakan langkah-langkah pemerintah. Namun hal tersebut masihdimaklumi sebagai bagian dari upaya membangun kedaulatan pangan dengan mengawasi dan menjaga keberlanjutan ketersediaan dan produksi pangan dalam negeri.

Yang terhangat dan terjaga intensitasnya beberapa hari belakangan di beberapa media adalah soal produksi, stok, dan impor jagung pakan. Jawaban dan penjelasan terus menerus dari Kementerian Pertanian (Kementan) sebagai pihak yang diamanahi tanggungjawab masalah produksi komoditas pertanian, tidak menghentikan pertanyaan demi pertanyan melalui media yang secara bergantian dimunculkan.

Pertanyaan terbesar tentu soal keputusan pemerintah yang berencana mengimpor jagung sebanyak 100 ribu ton, di tengah perhitungan produksi jagung tahun 2018 yang diperkirakan surplus hingga 12,98 juta ton.

Sekretaris Jenderal (Sekjend) Kementerian Pertanian (Kementan), Syukur Iwantoro pernah menyampaikan, dalam konteks penyediaan bahan kebutuhan pokok (dalam hal ini pangan), ekspor – impor adalah hal biasa. Terlebih Indonesia tergabung dalam Wolrd Trade Organization (WTO) atau organisasi perdagangan dunia.

“Indonesia sebagai bagian dari warga global, akan terus konsisten mengikuti aturan yang berlaku di tingkat global, seperti WTO. Namun usaha dan upaya kita untuk kemandirian dan kedaulatan pangan, tidak boleh berhenti”, pungkas Syukur.

Impor Kadang Diperlukan

Untuk alasan kemandirian pangan itu, Pemerintah melalui Kementan melakukan pengendalian impor bahan pangan. Memompa semangat petani untuk mendorong peningkatan produksi pertanian dalam negeri. Dengan harapan akan meningkatkan kesejahteraan petani lokal khususnya. Namun begitu Syukur menambahan, dalam kondisi tertentu impor boleh jadi dilakukan.

“Sebagai upaya melindungi masyarakat konsumen dengan menjaga harga pasokan bahan pangan dan stabilitas harga di pasar. Sehingga angka inflasi terjaga sebagaimana yang ditargetkan Pemerintah”, ujarnya.

Dekan Fakultas Pertanian Institut Ilmu Pertanian Bogor (IPB), Suwardi, menguatkan pendapat ini, bahwa untuk tujuan tertentu terkadang impor diperlukan.

“Dari segi jumlah produksi untuk memenuhi kebutuhan jagung dalam negeri, produksi kita mungkin saja sudah mencukupi. Tetapi jumlah saja tidak cukup karena masih ada faktor lain”, ujar Suwardi.

Sambil menunggu jagung Impor, Pemerintah berinisiatif mengusahakan jagung pakan bagi peternak ayam layer (petelur) mandiri, yang semakin terdesak karena harga jagung yang terus merangkak naik. Kembali langkah Kementan menuai kritik, kendati kalangan peternak sendiri justru merasa sangat terbantu.

“Terus terang saya memuji usaha Kementan, khususnya ke Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan (PKH), Pak Dirjen Pak Ketut dan jajarannya. Betul-betul luar biasa untuk peternak dalam mengadakan jagung”, kata Awan Sastrawijaya, Peternak Ayam Petelur di Bandung, Jawa Barat.

Padahal menurut Awan yang juga Pengurus Perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat Indonesia (Pinsar) Petelur Nasional (PPN), secara tugas pokok dan fungsi itu bukan tugasnya mereka (Ditjend PKH). Tapi mereka yang turun mencari jagung dari gudang yang tersedia, dan mengantarkannya langsung ke peternak.

Dalam keterangan tertulisnya Kementan menjelaskan keputusan ini diambil sebagai upaya penyelamatan peternak ayam mandiri, serta menjaga stabilitas harga ayam dan telur.
Sebagaimana disampaikan Ketua Presidium Forum Peternak Layer Nasional Ki Musbar Mesdi, apabila tidak segera diantisipasi, kenaikan harga jagung bisa berdampak pada harga telur di pasaran pada bulan depan.

“Sebab, biaya jagung berkontribusi 50 persen dari total biaya produksi pakan”, kata Ki Musbar.

Ia juga berharap agar jagung impor sebaiknya datang paling telat akhir tahun.
“Apabila tiba di Indonesia pada awal tahun 2019, bisa tidak dapat terserap oleh peternak mandiri karena bersamaan dengan panen raya, di mana harga jagung di petani lebih murah”, ucapnya khawatir.

Petani Panen Sebelum Jagung Impor Datang

Saat Pemerintah mengusahakan jagung untuk membantu peternak ayam mandiri, Ketua Asosiasi Petani Jagung Indonesia (APJI) Sholahudin membawa kabar, sejumlah sentra produksi jagung mulai panen awal November. Wilayah tersebut meliputi Jawa Timur di tujuh kabupaten, yaitu Tuban, Lamongan, Lumajang, Jember, Kediri, Mojokerto, dan Pasuruan. Tercatat areal panen kurang lebih seluas 5 ribu hektare dengan luas panen terbesar di Kecamatan Jenggawah, Jember seluas 2.901 hektare dan Kecamatan Kraton, Pasuruan seluas 1.496 hektare.

Panen raya jagung juga hadir di sejumlah wilayah Sulawesi Selatan, seperti Kabupaten Takalar, Jeneponto, Pinrang dan Wajo.

“Penanaman jagung September mencapai 5,86 juta hektar tersebar di wilayah Indonesia, dan sampai Oktober produksi jagung diperkirakan mencapai 25,97 juta ton, Insya Allah dengan semangat petani untuk menanam, target 30,05 juta ton jagung di 2018 bisa tercapai, semangat petani itu yang perlu kita jaga”, kata Sholahuddin.

Perkembangan Industri Perunggasan

Industri perunggasaan khususnya ayam yang terus berkembang dan menunjukkan peningkatan produksi. Untuk daging ayam ras, produksi nasional meningkat dari 1,5 juta ton pada 2014 menjadi 1,8 juta ton di 2017. Begitu juga telur meningkat dari 1,2 juta ton menjadi 1,5 juta ton pada periode waktu yang sama.

Kondisi peningkatan produksi pada industri perunggasan tentunya memberikan kabar gembira sekaligus menjadi tantangan tersendiri bagi Indonesia. Ini tentunya mengatrol kebutuhan pakan yang selama ini mengandalkan dari jagung.

Dalam beberapa kesempatan, Menteri Pertanian Amran Sulaiman menjelaskan Pemerintah akhirnya memutuskan impor jagung untuk mengurai masalah yang dihadapi para peternak mandiri, masalah ini muncul karena distribusi yang tersendat.

Ia berusaha meyakinkan, masalahnya bukan terletak pada produktivitas pertanian dalam negeri. Impor tidak menandakan stok jagung dalam negeri defisit. Panen jagung di berbagai wilayah menunjukkan perkiraan produksi jagung surplus bukan isapan jempol. Amran berharap polemik impor jagung tak perlu diperpanjang. (*)

Komentar