Senator NTT: RUU PBB Harus Berpihak Ke Masyarakat Desa

Jakarta – Komite IV DPD RI menggelar rapat pleno dengan Tim Ahli membahas penyusunan naskah akademik RUU tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), di ruang rapat Komite IV DPD RI, Kompleks Parlemen, Senayan – Jakarta, Selasa (11/6/2019), dipimpin Ketua Komite IV Ajiep Pandindang, didampingi Wakil Ketua Komite IV Ayi Hambali dan Siska Marleni itu.

Pembahasan difokuskan pada tiga unsur objek pajak, yaitu Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).

NJOP adalah dasar pengenaan pajak. Besaran NJOP ditetapkan paling lama tiga tahun. Sementara NJOPTKP akan menjadi dasar pengurangan perhitungan PBB. NJOPTKP ini ditetapkan juga paling lama tiga tahun.

Nilai NJOPTKP ditetapkan paling sedikit Rp5.000.000 untuk setiap objek pajak. Sedangkan NJKP menjadi dasar penetapan pajak terutang. Nilai NJKP ditetapkan paling rendah 20 persen dan paling tinggi 100 persen.

Selain membahas objek pajak, rapat pleno juga membahas tentang kewenangan pengelolaan objek pajak, pembagian hasil penerimaan pajak dan juga masalah pengurangan PBB terutang serta asas dan tujuan penyelenggaraan PBB.

Anggota DPD dari Nusa Tenggara Timur Adrianus Garu menyatakan dalam RUU PBB yang baru harus berpihak pada masyarakat desa. Alasannya, pemilik tanah yang banyak itu orang desa, tapi kalau diberatkan dengan pajak yang terlalu tinggi, lama-lama masyarakat desa akan susah. Apalagi keinginan presiden agar tanah di seluruh nusantara ini tersertifikat dengan baik.

Jika masyarakat terbebani dengan NJOP yang bervariasi dan tinggi, maka cita cita kamakmuran rakyat tidak akan terpenuhi. Jika perlu, kata Adri, DPD akan usulkan kepada Presiden agar tanah tanah rakyat di pedesaan ini digratiskan saja pembuatan sertifikatnya.

“Inikan tanah rakyat, jika kita mengacu pada pasal 33 UUD 45, bahwa tanah, bumi dan air beserta seluruh isinya untuk kemakmuran rakyat, maka pembuatan sertifikat tanah itu tidak boleh dibebankan lagi pada rakyat,” usul Adri.

Kemudian, tambah Adri, ada yang harus dipilah pula dalam pajak perkotaan ini. Areal mana yang dikatakan areal bisnis atau usaha, itu yang kemudian digenjot pencapaian pajaknya untuk daerah atau negara, tetapi jika untuk tempat tinggal atau kegiatan sosial keagamaan harus dipertimbangkan.

Dia mengingatkan, reformasi agraria jangan hanya semboyan saja. Satu sisi, reformasi agraria ditujukan untuk pencapaian target, tapi di saat yang sama juga sering dipersulit.

Menurut Adri banyak kendala yang ditemui DPD ketika kunjungan ke daerah-daerah tentang permasalahan pajak tanah masyarakat ini. Di daerah pariwisata Labuan Bajo, misalnya, karena pajak tanah yang begitu tinggi, masyarakat yang punya tanah di sana semakin susah untuk meningkatkan produktifitasnya.

Masalah keberpihakan terutama di daerah-daerah, masalah sertifikat tanah masyarakat sering terabaikan. Menurutnya, ia pernah berbicara lebih ekstrem dalam forum rapat agar BPN ini didaerahkan, karena ini sesuai dengan semangat otonomi daerah.