Banjir Generasi Milenial, Industri Kreatif Bisa Fenomenal

Kementerian Perindustrian melalui Direktorat Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka (IKMA) bertekad untuk terus menumbuhkan sektor industri kreatif di dalam negeri. Sebab, selain mendorong peningkatan jumlah wirausaha baru, industri kreatif juga berperan penting dalam memberikan kontribusi bagi perekonomian nasional.

 

“Kami secara rutin telah melaksanakan berbagai event untukmemberi ruang bagi pengembangan ekonomi kreatif di Indonesia. Salah satunya adalah acara Creative Talk sebagai kick-off dari kegiatan pengembangan kewirausahaan melalui program Creative Business Incubator- Bali Creative Industry Center (BCIC),” kata Direktur Jenderal IKMA Kemenperin Gati Wibawaningsih di Jakarta, Minggu (14/7).

 

Melalui kegiatan tersebut, menurut Gati, pihaknya akan membagikan pengetahuan kepada peserta tentang strategi pengembangan usaha, pemasaran produk, dan peningkatan motivasi dalam berwirausaha. Pelaksanaan Creative Talk di Yogyakarta pada Selasa (9/7) lalu, dilakukan bersamaan dengan gelaran Festival Kebudayaan Yogyakarta yang di dalamnya terdapat pasar seni yang diikuti oleh 50 pelaku ekonomi kreatif yang telah dikurasi.

 

Pada kesempatan itu, kegiatan yang juga diisi dengan talkshow, menghadirkan sejumlah narasumber di bidang industri kreatif, antara lain Founder Spedagi dan Radio Magno Singgih Susilo, Founder Eboni Watch Afidha Fajar, serta Head of Design and Product Development Brodo Footwear Ahmad Kharisma.

 

Gati berharap, adanya acara tersebut, dapat meningkatkan minat generasi muda atau generasi milenial di Yogyakarta dalam berwirausaha dan semangat untuk terus mengembangkan usahanya. “Apalagi Jogja merupakan salah satu daerah penyumbang PDB ekonomi kreatif yang cukup besar di Indonesia, yaitu mencapai 16,12 persen dari total PDB ekonomi kreatif Indonesia,” ungkapnya.

 

Pada tahun 2018, industri kreatif mampu memberikan kontribusi signfikan terhadap PDB nasional, dengan diperkirakan mencapai Rp1.000 triliun. Adapun tiga subsektor yang memberikan sumbangsih besar terhadap ekonomi kreatif tersebut, yakni industri kuliner sebesar 41,69 persen, disusul industri fesyen (18,15 persen), dan industri kriya (15,70 persen).

 

Untuk itu, Dirjen IKMA menambahkan, Kemenperin fokus memacu potensi ekonomi kreatif yang cukup besar tersebut. Langkah strategis ini juga untuk merebut peluang adanya bonus demografi di Indonesia.

 

“Pada tahun 2030 mendatang, Indonesia akan mengalami bonus demografi, di mana proporsi usia produktif penduduk usia 20-39 tahun diperoyeksi mencapai lebih dari 88 juta jiwa. Sehingga perlu dipersiapkan pengusaha-pengusaha muda yang nantinya bisa mengambil peluang dari bonus demografi itu,” paparnya.

 

Gati pun menyampaikan, Indonesia adalah negara yang memiliki budaya yang sangat beragam. Hal ini menjadi modal besar dalam pengembangan ekonomi kreatif. Karena itu, Kemenperin mendirikan BCIC pada tahun 2015 lalu, yang berfungsi sebagai wadah bagi para pelaku industri kreatif kriya dan fesyen untuk mengembangkan usahanya.

 

“Konsepnya di BCIC, yaitu meet-share-collaborate, di mana para pelaku industri bisa bertemu, berbagi pengalaman dan ide kreatif, sehingga pada akhirnya bisa berkolaborasi untuk menciptakan karya bersama,” imbuhnya.

 

Program Santripreneur

 

Gati menambahkan, dalam upaya menumbuhkan wiruasaha baru sektor IKM, Kemenperin juga membidik potensinya di lingkungan pondok pesantren. Contohnya, Ditjen IKMA menggelar program Santripreneur di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta, Jawa Barat.

 

“Pada tahun ini, Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta menjadi salah satu fokus penumbuhan wirausaha industri, di mana potensi yang dimiliki pondok pesantren ini adalah jumlah santrinya lebih dari 4.000 orang dan sudah memiliki berbagai unit bisnis seperti di bidang percetakan, konveksi, peternakan ikan dan pertanian,” ungkapnya.

 

Gati menjelaskan, program penumbuhan wirausaha baru IKM di Pondok Pesantren Al-Muhajirin Purwakarta, diberikan dalam bentuk bimbingan teknis serta fasilitasi mesin dan peralatan produksi roti. Sebanyak 100 peserta mengikuti kegiatan tersebut, yang berasal dari para santri dan pengurus pondok pesantren.

 

“Kami memfasilitasi mesin dan peralatan produksi roti yang berjumlah 15 jenis, terdiri dari mesin produksi hingga kemasan,” tuturnya. Dirjen IKMA berharap, bantuan tersebut dapat dimanfaatkan secara baik untuk pengembangan unit bisnis baru di lingkungan pondok pesantren.

 

Program santripreneur yang dilaksanakan oleh Kemenperin sejak tahun 2013 hingga tahun 2018, telah membina sebanyak 22 pondok pesantren dengan lebih dari 3.000 santri diberikan pelatihan produksi serta motivasi kewirausahaan.

 

“Cakupan ruang lingkup pembinaan kami di antaranya adalah pelatihan produksi dan bantuan mesin dan peralatan di bidang olahan pangan dan minuman (seperti roti dan kopi), kemudian perbengkelan roda dua, kerajinan boneka dan kain perca, konveksi busana muslim dan seragam, daur ulang sampah, serta produksi pupuk organik cair,” sebut Gati.

 

Dirjen IKMA menegaskan, pondok pesantren dapat berperan strategis dalam mendukung pertumbuhan industri di Indonesia. Sebab, pondok pesantren memiliki peran sebagai “agent of development” yang sangat penting dan strategis dalam pengembangan sumber daya masyarakat di pedesaan sehingga menjadi sarana yang penting dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat.

 

Berdasarkan sensus Kementerian Agama di tahun 2014-2015, jumlah pondok pesantren di Indonesia diperkirakan sebanyak 28.961 yang tersebar di seluruh provinsi dengan total santri sekitar 4.028.660 santri. Dari total 28.961 pondok pesantren, sekitar 23.331 pondok pesantren (80 persen) di antaranya tersebar di empat provinsi yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten.

 

“Pondok pesantren memiliki potensi dalam penyediaan sumber daya manusia, yaitu para santri yang berkualitas, ulet, sabar, jujur dan tekun,” ungkap Gati. Pondok pesantren juga memiliki potensi pemberdayaan ekonomi, mengingat sudah banyak pondok pesantren yang mendirikan koperasi, mengembangkan berbagai unit bisnis atau industri berskala kecil dan menengah, dan memiliki inkubator bisnis.

 

“Dengan jumlah pondok pesantren dan santri yang cukup besar, pondok pesantren memiliki potensi yang strategis untuk mendukung pembangunan ekonomi nasional, salah satunya melalui penumbuhan wirausaha industri baru di lingkungan pondok pesantren,” imbuhnya. (kemenperin)