Kecuali PKS, Partai Politik Dituding Ciptakan Super Presidensialisme

Jakarta – Pakar hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan “Rakyat” yang disebut-sebut dalam UUD 45 sebagai komponen utama pemegang kedaulatan, di dalam kenyataan riilnya cuma berdaulat dalam waktu tiga hingga lima menit dan itu hanya ada satu kali dalam lima tahun.

Setelah itu menurut Margarito, kedaulatan rakyat yang ada dalam konstitusi itu menjadi abstrak kembali karena detil-detil berbangsa dan bernegara sepenuhnya diperankan oleh para elite. Begitulah praktik demokrasi di mana-mana.

“Cuma tiga hingga lima menit saja rakyat berdaulat di bilik suara sekali dalam lima tahun. Selesai itu, para elite yang berdaulat,” kata Margarito, dalam Dialog Kenegaraan bertajuk “Langkah Demokrasi Republik Indonesia Setelah Usia ke-74?”, di Media Center DPR RI, Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan – Jakarta, Rabu (13/8/2019).

Kedaulatan para elite itu ujar dia, umumnya muncul dari berbagai partai politik peserta pemilihan umum yang kadangkala tidak memerankan fungsi rakyat sebagai komponen utama demokrasi.

“Saya mau bilang, kalau kita cermati kecenderungan elite yang sedang terjadi di Indonesia hari ini, ada upaya mereka sedang menciptakan super presidensialisme bukan sekedar penguatan sistem presidensial lagi. Faktanya, cuma Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tinggal sendiri di luar. Selebihnya merapat ke pemerintah,” tegas Margarito.

Para elite partai politik di luar PKS ini lanjut dia, mendorong Negara ini definisikan hanya oleh pemerintah. “Jangan bicara tentang checks and balances segala macam, omong kosong itu, ga ada checks and balances, apalagi desain kelembagaan pembentukan undang-undang kita seperti sekarang, DPD yang sekarang, DPR yang seperti ini dan seluruh kekuatan politik merapat ke pemerintah kecuali PKS, anda sedang menciptakan super presidensialisme,” tegasnya lagi.

Lalu Margarito bercerita soal Amerika Serikat akhir-akhir ini terkait apa yang bisa dilakukan oleh Presiden Donald Trump dan apa yang bisa dilakukan oleh kongres. “Tidak bisa bikin apa apa, betul beberapa program misalnya, pembangunan tembok Mexico itu gagal beberapa kali terjadi shutdown. Tapi anda bayangkan presiden memainkan politik yang membelah masyarakat, nggak bisa di bikin apa-apa,” ujar dia.

Namun sebagai warga negara Margarito mengaku sampai pada level tertentu senang dengan gagasan PDI Perjuangan untuk membuat GBHN atau apa pun namanya yang kira-kira sejenis atau yang esensinya sama.

“Kenapa, ini bukan soal orde baru dan lama, anda jangan salah, dengan presidensial tanpa GBHN maka yang mendefinisikan jalannya bangsa ini adalah Presiden tunggal. Suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, presidenlah yang mendefinisikan bagaimana bangsa ini harus diarahkan dan seterusnya, bukan rakyat melalui wakil-wakilnya. Jadi apakah itu yang mau kita pertahankan, menurut saya tidak. Pada titik itu saya melihat ada relevannya memang kita pikirkan kembali GBHN atau apa pun namanya itu,” pungkas Margarito.