Kenaikan Cukai Dinilai Untungkan Industri Rokok Skala Besar

Jakarta – Anggota Komisi XI DPR RI Harry Poernomo menilai kebijakan Kementerian Keuangan yang menetapkan aturan cukai hasil tembakau naik mulai 1 Januari 2020 nanti sangat dilematis.

Aturan menaikkan Cukai Hasil Tembakau (CHT) atau rokok sebesar 21,55 persen dan Harga Jual Eceran (HJE) rokok di kisaran 35 persen tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 152 Tahun 2019 ini.

“Ini masalah cukai rokok ini memang dilematis, sebetulnya kalau kita melihat perspektif bahwa rokok itu adalah salah satu sumber penyakit, yang sepakat atau tidak sudah diakui dunia, sementara biaya kesehatan kita harus berhemat karena dari BPJS kita sudah shortfall,” kata Harry, usai raker Komisi XI DPR RI dengan Kemenkeu, di Gedung Nusantara I, Senayan, Jakarta, Senin (5/11/2019).

Di sisi lain lanjut poltisi Partai Gerindra ini, cukai rokok masih menjadi sumber pendapatan yang dapat memberikan kesempatan kerja sangat luas. Dengan ditekennya aturan ini oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada Oktober lalu, muncul kekhawatiran akan gugurnya industri rokok berskala kecil dan menengah.

“Saya kekhawatiran, kalau cukai rokok naik terlalu tinggi, nantinya industri rokok yang masih menggunakan manual, atau kretek linting, akan berguguran. Akhirnya nanti akan menimbulkan pengangguran, itu dilemanya,” ungkap Harry.

Dia jelaskan, setidaknya ada 5,9 juta tenaga kerja yang diserap dari industri hasil tembakau. Dari jumlah tersebut, 4,28 juta diantaranya merupakan pekerja di sektor manufaktur dan distribusi. Sementara sisanya 1,7 juta pekerja di berada di sektor perkebunan.

Selain dari aspek ketenagakerjaan lanjutnya, pada 2018 lalu penerimaan cukai dari sektor IHT menembus angka Rp153 triliun atau lebih tinggi dibandingkan pada tahun sebelumnya sebesar Rp147 triliun. Penerimaan cukai pada tahun lalu telah berkontribusi 95,8 persen terhadap pendapatan cukai nasional.

Meski menyumbang pendapatan besar, Harry mengkhawatirkan keuntungan dari kenaikan cukai rokok yang akan diberlakukan nantinya, hanya menguntungkan industri rokok skala besar, seperti pabrik-pabrik rokok yang beroperasi dengan menggunakan mesin dan melakukan produksi secara massal.

“Saya khawatir ini akan berdampak, memang nanti pendapatan naik tapi kemudian efek sampingnya adalah terjadi pengangguran karena banyak pabrik rokok skala kecil dan menengah yang tutup, efeknya juga dirasakan petani tembakau. Angka 35 persen itu terlalu tinggi. Menurut saya harusnya bertahap. Mungkin dengan 15 persen dulu, ya sesuai inflasi lah,” pungkasnya.