Wacana Pilkada: Demokrasiku, Demokrasimu, Demokrasi Kita

Oleh: Fadli Zon*

Saat ini Pemerintah, melalui Menteri Dalam Negeri, mewacanakan evaluasi atas Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Langsung. Saya kira ajakan evaluasi itu perlu disambut baik. Bagaimanapun, demokrasi yang kian mahal memang harus dianggap sebagai persoalan serius.

Hanya saja, evaluasi itu mestinya bersifat sistemik dan mendalam, bukan hanya parsial. Kini muncul gagasan menyelenggarakan Pilkada Asimetris, yaitu Pilkada Langsung hanya untuk Pemilihan Bupati/Walikota saja, yang memimpin daerah otonom, sementara untuk Pemilihan Gubernur di level provinsi dilakukan melalui DPRD. Menurut saya, cara pandang semacam itu masih bersifat parsial dan aji mumpung kepentingan jangka pendek.

Jumlah provinsi di Indonesia hanya 34, bandingkan dengan jumlah kabupaten/kota yang mencapai 514. Sehingga, jika kita menggelisahkan Pilkada yang mahal, mengubah Pemilihan Gubernur secara kualitatif dan kuantitatif dampaknya sangatlah tak signifikan. Mestinya yang kita perhatikan adalah Pemilihan Bupati/Walikota.

Tapi bagaimana dengan status Kabupaten/Kota sebagai daerah otonom? Inilah titik evaluasinya. Kita perlu mendalami apakah sebaiknya otonomi daerah tetap diberikan untuk level kabupaten/kota, ataukah perlu digeser ke level provinsi. Saya kira kuncinya ada di situ. Ini yang harus dikaji mendalam.

Pemerintah sendiri mencatat bahwa sekitar 78 persen kabupaten/kota hasil pemekaran dianggap gagal. Dalam kenyataannya, memang banyak pemerintah Tingkat Dua tak sanggup menyelenggarakan rumah tangga pemerintahan mereka sendiri. Sebagai pembanding, saat ini hanya 10 persen saja daerah otonom yang benar-benar mandiri secara fiskal. Sementara sekitar 70 persen daerah otonom, PAD-nya berkisar 10 persen saja dari jumlah APBD-nya. Dengan kata lain, meski masih harus dikaji kembali, penetapan kabupaten/kota sebagai daerah otonom harus dievaluasi secara serius, karena dari sisi keuangan negara sistem semacam ini sudah bersifat destruktif.

Bayangkan, jumlah daerah otonom di Indonesia 14 kali lipat dari jumlah daerah otonom di Cina dan India, padahal jumlah penduduk kita hanya seperenam dan seperlima kedua negara tadi. Dari 514 kabupaten/kota yang ada, 508 di antaranya berstatus daerah otonom yang tiap lima tahun sekali menyelenggarakan Pilkada Langsung. Berapa biaya yang bisa kita hemat jika kebijakan otonomi daerah kita geser ke level provinsi? Saya kira jumlahnya lebih signifikan.

Dalam dua puluh tahun terakhir, kita menganggap demokrasi liberal lebih baik daripada demokrasi perwakilan. Padahal, segala keberatan kita hari ini terhadap praktik demokrasi yang mahal—sehingga hanya menguntungkan para oligarki, mestinya membawa kita pada diskusi yang lebih substantif, bukan hanya soal prosedural langsung dan tidak langsung. Isu substantif kita sebenarnya adalah pada bagaimana meningkatkan kualitas demokrasi.

Melalui buku “Demokrasi Kita” dulu Bung Hatta sebenarnya sudah mengingatkan agar praktik berdemokrasi di level negara sebaiknya mengadopsi model demokrasi yang tumbuh di tengah-tengah rakyat. Bung Hatta mengkritik demokrasi cara Barat yang berdasarkan ‘free fight’, hantam-menghantam. “Free fight democracy”, ujar Hatta, hanya akan menimbulkan perpecahan nasional dan membuat pembangunan jadi terlantar.

Tapi kita tak boleh memelihara standar ganda dalam diskusi. Maksudnya, jangan sampai ketika model pemungutan suara merugikan kepentingan kita, maka kita bilang itu bukanlah model demokrasi kita. Atau, ketika model musyawarah merugikan kepentingan kita, maka kita berkilah bahwa pilar demokrasi adalah pemungutan suara. Semua pihak harus bisa bersikap obyektif.

Jangan lupa, lima tahun lalu DPR sebenarnya sudah pernah membuat keputusan politik menghapus Pilkada Langsung. Tapi keputusan itu digunting sendiri oleh Presiden SBY melalui Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang) di penghujung masa jabatannya Oktober 2014. Kemudian koalisi pemerintahan baru dipimpin Presiden Joko Widodo termasuk yang mendukung penerbitan Perppu mendukung Pilkada Langsung. Kami ketika itu berada dalam posisi mendukung Pilkada oleh DPRD dan dikalahkan dalam voting di DPR RI. Inilah inkonsistensi yang terus berulang. Jadi, kalau sekarang Pemerintah hendak mewacanakan kembali gagasan tersebut, kita pantas bertanya: ke mana sikap mereka lima tahun lalu?

Artinya, selama ini yang ada hanyalah “Demokrasiku” dan “Demokrasimu” saja. “Demokrasiku” adalah refleksi mencari keuntungan sesaat dari situasi atau konfigurasi politik yang ada. Bukan memperbaiki institusi dan praktik demokrasi sendiri. Inilah demokrasi “menang-menangan”. Masing-masing pihak hanya berkukuh membela posisinya, dengan mengabaikan banyak sekali kenyataan obyektif. Kita perlu menyadari bahwa yang dibutuhkan kini adalah diskursus obyektif dan terbuka mengenai “Demokrasi Kita”, bukan hanya “Demokrasiku” dan “Demokrasimu” semata.

Mau dibawa ke mana “Demokrasi Kita”?

Dr. Fadli Zon, M.Sc.*
Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Ketua BKSAP DPR RI, Presiden GOPAC (Global Organization of Parliamentarians Against Corruption/Organisasi Parlemen Dunia AntiKorupsi)