Guru Besar UIN Yogyakarta Jelaskan Spiral Kebencian di Medsos

Yogyakarta – Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Iswandi Syahputra memaparkan bagaimana ujaran kebencian dapat tersebar di media sosial.

“Perpaduan antara kecenderungan politik, keyakinan keagamaan dan ketergantungan pada informasi yang diperbincangkan secara tertutup pada kantung-kantung percakapan menghasilkan peningkatan emosi dan kemarahan. Sehingga kemarahan, kecemasan, kesedihan dan kebencian menjadi lebih cepat berkembang di media sosial”, jelasnya saat menyampaikan pidato pengukuhan Guru Besar dalam bidang Ilmu Komunikasi di hadapan Rapat Senat Terbuka di Gedung Convention Hall, kampus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Dalam pidatonya tersebut, Iswandi menjelaskan empat lingkar spiral kebencian yang menyebar di media sosial. “Ujaran kebencian di media sosial tersebut menyebar melebar dari kebencian implosif yang terpendam hingga kebencian eksplosif yang tersampaikan. Pada lingkar spiral pertama, kebencian masih bersifat personal, tersimpan dan terpendam. Kebencian pada lingkar ini muncul karena adanya penerimaan, penyerapan atau internalisasi berbagai informasi yang tersebar pada berbagai jenis media sosial”, jelasnya.

Iswandi melanjutkan, pada lingkar spiral kedua kebencian muncul sebagai akibat saling berbagi informasi yang menimbulkan kebencian bersama tentang suatu informasi tertentu pada satu kelompok yang memiliki karakteristik spesifik yang sama. “Pada tahap ini, informasi yang beredar dianggap mengandung kebenaran sehingga dapat mengokohkan pandangan anggota kelompok yang sejenis”, ujarnya.

Berikutnya pada lingkar spiral ketiga, kebencian di media sosial terjadi pada lintas kelompok netizen. “Pada lingkar spiral ini,, informasi bukan lagi sekedar informasi tetapi menjadi agenda atau isu publik”, ungkapnya.

Selanjutnya pada lingkar spiral keempat, kebencian meledak sebagai ujaran kebencian yang tersampaikan di media sosial karena mendapat dukungan dari kelompkok komunal.

“Proses pada level ini terjadi secara hiper-interaktif. Saling serang dengan berbagai ujaran kebencian menjadi masif dan terbuka. Proses tersebut tidak dapat dikendalikan karena kebebasan berpendapat dalam iklim demokrasi yang dianut”.

Untuk menangkal kebencian di media sosial, Iswandi meminta perhatian pada akademisi, pemerintah dan netizen. “Seorang akademisi perlu memperkuat budaya riset berbasis big data, budaya membaca, budaya berpikir, budaya kritis dan budaya berani berpendapat. Sebab, hoaks dan kebencian di media sosial hanya dapat dihentikan dengan budaya riset, budaya membaca, budaya berpikir, budaya kritis dan budaya berpendapat”.

Dalam pidatonya yang berjudul “Hoaks dan Spiral Kebencian di Media Sosial” tersebut Iswandi meminta perhatian pemerintah untuk tetap menjamin kebebasan berpendapat dan kebebasan berbicara warganet di media sosial. “Kebebasan saat ini harus benar-benar dijamin pemerintah sebagai freedom for, bukan freedom from.

Pemerintah dan negara harus cermat dalam membedakan antara hoaks dengan kritik dan satir, dapat memilah antara kebencian dan kekecewaan, dapat merasakan perbedaan antara berpendapat dan menghujat”, jelasnya.

Sementara pada warganet, Iswandi meminta perhatian agar lebih cermat dalam aktivitas di media sosial. “Kebebasan berbicara bukan berarti bebas membenci. Freedom of speech bukan berarti freedom to hate. Gunakan jempol untuk konten jempolan”, tandasnya. (***)