Dinilai Tak Mampu Eksploitasi Ikan Di ZEE, KKP Diminta Perbaiki Regulasi

Jakarta – Anggota Komisi IV DPR RI Ono Surono mendukung langkah Menkopolhukam yang mendorong mobilisasi 120 kapal perikanan nelayan asal Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa untuk beroperasi di perairan Natuna Utara, Kepulauan Riau.

Mobilisasi nelayan Pantura Pulau Jawa tersebut ditujukan sebagai respons terhadap masuknya kapal-kapal China ke perairan Natuna utara.

Dikatakan Ono, hukum laut internasional sebagaimana diatur UNCLOS 1982 memberikan hak eksploitasi dan eksplorasi atas sumber daya alam kepada Indonesia di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Natuna. Sehingga keberadaan nelayan dianggap penting dalam memperkuat dan menjaga kedaulatan di perairan tersebut.

Meskipun demikian, di Pasal 68 UNCLOS disebutkan bahwa negara lain dapat memanfaatkan sumber daya alam di perairan tersebut, terutama ikan, bila Indonesia dianggap tidak mampu mengeksploitasi seluruh sumber daya ikan sesuai hitungan yang boleh ditangkap.

“Saat ini Indonesia boleh dianggap tidak mampu memanfaatkan sumber daya ikan di ZEE karena turunnya kapasitas kapal perikanan pasca kebijakan dicabutnya izin kapal perikanan skala besar, dilarangnya transhipment di tengah laut dan pembatasan kapasitas kapal ikan maskimal 150 grosston serta belum ada pelabuhan perikanan yang terdekat,” kata Ono dalam rilisnya, Selasa (7/1/2020).

Anggota DPR dapil Jawa Barat VIII itu mengingatkan bahwa keberadaan pelabuhan di Natuna amatlah penting guna menampung kapal dan hasil tangkapannya. “Jadi, Indonesia itu ibarat rumah, tetapi tidak berpenghuni sehingga maling sangat leluasa mencuri isinya,” tegas dia.

Politisi PDI Perjuangan itu mengakui bahwa kapal nelayan yang ingin beroperasi di Natuna juga tak mudah, karena akan beroperasi di atas 25 mil sampai 200 mil sebagaimana ketentuan ZEE. Sehingga diperlukan kapal skala besar dan waktu yang lama, serta pelabuhan perikanan yang dapat menampung kapal beserta hasil tangkapannya.

“Sehingga perlu ada upaya perubahan peraturan di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” tegasnya.

Ono mencatat ada empat poin yang harus disegerakan perubahan. Pertama, mengizinkan kembali kapal-kapal perikanan besar yang dahulu izinnya dicabut dengan tetap mengacu pada prinsip milik dan modal murni Indonesia.

Kedua, mencabut pelarangan pembangunan kapal perikanan maksimal 150 grosston. Ketiga, memperbanyak kapal pengangkut ikan dan membolehkan untuk melakukan transhipment di tengah laut dengan pengawasan yang ketat. Dan keempat, pembenahan Sentra Kelautan Perikanan Terpadu (SKPT) Natuna untuk bisa beroperasi menampung kapal dan hasil tangkapan secara maksimal.

“Bila rencana itu dapat dilakukan, maka pengamanan kedaulatan di wilayah perairan bukan saja mengandalkan TNI Angkatan Laut (AL), Badan Keamanan Laut (Bakamla) dan aparat penegak hukum di laut lainnya, tetapi armada kapal perikanan Indonesia juga dapat menjadi penjaga kedaulatan Indonesia,” pungkasnya.