Politisi PKS Anggap Pola Komunikasi Pemerintah Pusat dengan Daerah Kaku

Jakarta – Anggota Komisi VI DPR RI Rafli, menyatakan ada kekakuan komunikasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah. Karena itu, dia berharap komunikasi Pemerintah Pusat dan daerah segera mencair demi kemaslahatan masyarakat terutama di daerah.

“Ada kebekuan komunikasi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Aceh. Harapan kita, internal Aceh sudah membulatkan satu sikap politik demi masyarakat Aceh yang lebih baik kedepannya,” ucap Rafli dalam Sidang Paripurna DPR RI, di Gedung Nusantara II, Kompleks Parlemen, Senayan – Jakarta, Senin (13/1/2020).

Dijelaskannya, saat ini para tokoh masyarakat Aceh sedang duduk bersama untuk merumuskan sebuah konsensus yang dinamis dan penting tentang persoalan politik di Aceh. Jika sudah disepakati, konsensus tersebut diharapkan Rafli menjadi landasan bagi Pemerintah Pusat untuk menyejahterakan masyarakat di Aceh.

“Harapan kami sebagai Rakyat Aceh, konsensus ini nantinya menjadi sebuah landasan bahwa Pemerintahan Pusat bukan hanya memberikan kompensasi politik bagi Aceh seperti dana otonomi khusus dan sebagainya. Melainkan bagaimana semangat Pemerintah Pusat ingin memberikan kompensasi kesejahteraan yang utuh bagi Aceh,” pinta Rafli.

Lebih lanjut, politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini menanggapi indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) yang dirilis oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI pertengahan Desember 2019 lalu, dimana Provinsi Aceh mendapatkan skor terendah (60,2) dari seluruh provinsi yang ada di Indonesia.

Survei tersebut dilakukan Kemenag pada 16-19 Mei 2019 dan 18-24 Juni 2019 dengan jumlah responden 13.600 dari 34 provinsi di Indonesia. Penarikan sampel dilakukan secara acak dan berjenjang dengan margin of error survei kurang dari 4,8 persen.

“Indeks KUB yang dirilis Kemenag kita lihat kurang produktif, wa bil khusus untuk Aceh. Padahal bila kita lihat lebih dalam filosofisnya, Aceh merupakan sebuah Negeri yang sangat kooperatif dan dinamis serta komunikatif. Kita harap, jangan ada lagi bahasa seperti itu, apalagi beliau (Menteri Agama) sendiri punya historis dengan Aceh, semestinya perlu pertimbangan,” pungkas Rafli.