Festival Crossborder Nunukan Perkenalkan Batik Lulantatibu

NUNUKAN – Batik baru Nubukan, Lulantatibu, diperkenalkan dalam Festival Crossborder Nunukan 2018. Batik Lulantatibu sarat akan filosofi. Inilah identitas baru Nunukan.

Beragam kekayaan Nunukan ditampilkan secara utuh dalam Festival Crossborder, 20-21 Oktober 2018. Salah satu yang menonjol adalah Batik Lulantatibu. Batik ini merupakan penggabungan dari 5 etnis asli di Nunukan. Terdiri dari Dayak Lundayeh, Tagalan, Taghol, dan penggabungan Tidung-Bulungan. Pesan yang ingin disampaikan dari batik ini adalah kemakmuran, kesuburan, kekuatan, pertahanan, dan persatuan.

“Batik Lulantatibu menjadi ciri khas yang dimiliki Nunukan. Motifnya dikembangkan dari masing-masing ciri khas etnis. Namun, yang disatukan adalah yang memiliki filosofi sama,” ungkap Kasie Kemitraan dan Ekonomi Kreatif Disparpora Nunukan Wahyu Muji Lestari, Minggu (21/10).

Sedikitnya ada 4 motif khas etnis Dayak asli yang dikolaborasikan dalam Batik Lulantatibu. Ada motif tempayan yang menjadi identitas Dayak Lundayeh. Familiar sebagai arit tabuk, motif ini punya makna perlindungan seperti fungsi tempayan. Motif lain berupa bunga raya yang dimiliki Dayak Tidung dan Bulungan. Bunga raya ini menjadi simbol tolak bala, pengobatan, hingga kesuburan.

Motif berikutnya yang disatukan berupa tameng dan menjadi identitas Dayak Taghol. Tameng ini punya arti sebagai pertahanan diri dan kekuatan. Terakhir, motif kebabuayo atau dada buayo. Motif ini menjadi identitas Dayak Tagalan. Karakternya ditampilkan melingkar yang memiliki pusat dan dihiasi ornamen titik-titik.

“Motif-motif yang jadi ciri etnis Dayak di Nunukan ini disatukan. Batik Lulantatibu juga memasukan unsur lain yang banyak ditemui dalah keseharian,” terang Wahyu.

Motif-motif tersebut dikolaborasikan dengan unsur alam. Batik Lulantatibu memasukan unsur kayu melalui motif bulatan, lengkap dengan lingkar tahunnya.

Ciri Borneo berupa ulir atau sulur juga dimasukan. Ulir yang mengembang ke luar ini memiliki makna, warga Nunukan tetap ingat daerah asal meski berada jauh di perantauan. Unsur lain yang dimasukan adalah gambaran air atau sungai dan batu.

“Batik Lulantatibu ini memiliki filosofi yang kuat. Kekayaan Nunukan ditampilkan secara utuh. Batik ini pun menjadi unik dan menarik melalui warna-warna yang ditampilkan,” tuturnya lagi.

Secara garis besar, Batik Lulantatibu ditampilkan dalam 4 warna adat di Nunukan. Ada warna merah, kuning, hijau, dan hitam. Warna merah mengesankan karakter berani, lalu kuning berarti kelembutan dan kesabaran. Untuk warna hijau menjadi simbol kesuburan dan keagungan pun disimbolkan hitam. Wahyu menambahkan, filosofi yang disampaikan diharapkan membawa kebaikan bagi pemakainya.

“Ada banyak filosofi dan pesan yang dimiliki. Harapannya, pemakai Batik Lulantatibu ini mendapatkan beragam kebaikan. Dan, karya Batik Lulantatibu ini menjadi kekayaan Nunukan,” lanjutnya lagi.

Menjadi kekayaan intelektual Nunukan, batik Nunukan ini dilindungi aspek legal. Batik Lulantatibu mendapatkan Hak Kekayaan Intelektual (Haki), Mei 2017. Proses panjang pun harus dilewati Nunukan untuk menghasilkan Batik Lulantatibu. Proses penggalian kekayaan etnis ini dimulai 2010, lalu dilanjutkan pengkajian setahun berikutnya.

Ide dasar batik ini pun lalu diajukan kepada Dewan Adat. Persetujuan atas Batik Lulantatibu diberikan Dewan Adat pada 2012. Setahun berikutnya, motif Batik Lulantatibu mulai disounding lalu menjalani proses Haki pada 2014.

Asisten Deputi Pemasaran I Regional II Kemenpar Sumarni menerangkan, Batik Lulantatibu menegaskan Nunukan sebagai situs besar budaya.

“Nunukan memang situs budaya besar. Di sini juga banyak etnis yang hidup bersama. Kekuatan besar ini lalu dikolaborasikan hingga menghasilkan karya sarat filosofi. Lebih menarik lagi, Batik Lulantatibu ini sudah memiliki Haki. Hal ini tentu bagus, meski pengembangan batik ini masih terbuka dilakukan,” terang Sumarni.

Secara teknis, Batik Lulantatibu diproduksi melalui 3 treatment pembuatan. Batik ini pun dibuat melalui printing, cap pewarna alam, hingga tulis. Khusus batik tulis memakai warna sintetis sesuai keinginan masyarakat Nunukan. Mereka gemar warna terang. Untuk teknik lainnya memakai warna alami. Warna alam ini diambil dari daun jambu batu dan kayu secang untuk pewarna merah.

Warna kuning diambil dari ekstrak kunyit, lalu hijau berasal dari daun pandang juga suji. Batik dengan warna cokelat berasal indigo serbuk alam, lalu warna biru dimunculkan dari buah kersen.

Kepala Bidang Pemasaran Area III Asdep Pengembangan Pemasaran I Regional II Kemenpar Sapto Haryono menjelaskan, Batik Lulantatinbu menjadi potensi bisnis menjanjikan Nunukan.

“Kekayaan Nunukan sangat beragam. Wilayah ini semakin menegaskan potensinya sebagai destinasi wisata belanja. Selain filosofi, Batik Lulantatibu ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Batik ini bisa jadi peluang bisnis besar bagi Nunukan. Pengembangan lebih intensif harus dilakukan,” jelas Sapto.

Branding terus dibangun oleh Batik Lulantatibu. Kekayaan intelektual Nunukan ini banyak disertakan dalam pameran. Kota pamerannya ada di Jakarta, Batam, Bali, Semarang, Surabaya, dan Palangkaraya. Batik Lulantatibu saat ini sudah digunakan oleh instansi pemerintah di Nunukan hingga sekolah. Batik ini juga menjadi kurikulum di SLB dan program Pembinaan Kesadaran Bela Negara (PKBN).

“Ekpansi pasar sudah harus dilakukan Batik Lulantatibu. Dengan karaktar khasnya, batik ini memiliki segmen market menjanjikan. Upaya ini harus didorong penuh. Untuk branding, bisa memakai fungsi dari media sosial. Yang penting dilakukan secara masif dan terus menerus,” tutup Menteri Pariwisata Arief Yahya yang sukses membawa Kemenpar No. 1 dan terpilih sebagai #TheBestMinistryTourism2018 se-Asia Pasifik di Bangkok. (*)

Komentar