Ketika Ustadz Tertarik Menulis Buku

Oleh: Joko Intarto

Akhirnya saya tahu nama barista kurus itu: Ustadz Supardi. Pengasuh Pondok Pesantren Darul Mursyid, Sipirok, Sumatera Utara.

Melihat namanya, saya menduga ia Pujakesuma: Putera Jawa Kelahiran Sumatera. Banyak orang Jawa yang lahir turun-temurun di Sumatera Utara. Orang Jawa di masa lalu datang ke sana untuk membuka perkebunan tembakau Deli yang sangat terkenal itu.

Saya tahu namanya setelah ia mengirimkan ucapan terima kasih. Karena mendapat ilmu barista di arena Indonesia Shari’a Economic Festival (ISEF) 2018 di Surabaya pekan lalu. Rupanya ia masih percaya, saya benar-benar barista senior Bank Indonesia.

Sore tadi saya mengirimi Ustadz Supardi sebuah foto. Peristiwa pertemuan saya dengan Prof Dr Ir H Muhammad Nuh DEA, mantan Menteri Pendidikan Nasional, yang sekarang menjadi letua Badan Wakaf Indonesia itu.

“Barista senior ternyata juga menulis buku?” komentarnya setelah melihat foto saya sedang menyerahkan buku “Umrah Rasa F1” kepada Pak Nuh.

“Barista itu pekerjaan sampingan. Menulis buku adalah pekerjaan utama saya,” jawab saya dengan harapan ia segera mengerti bahwa saya bukanlah barista sungguhan.

“Kapan senior ke Sipirok? Kami akan undang untuk dua hal. Kami ingin senior memberi workshop menulis buku untuk para ustadz saat santri libur pada minggu kedua Januari. Khusus untuk saya, mohon ilmu baristanya dibagikan lagi,” katanya.

Saya iyakan saja. “Khusus untuk workshop buku, saya siapkan tema belajar menulis buku 2 hari jadi,” kata saya.

“Secepat itu senior? Saya kira perlu berbulan-bulan,” tanya Ustadz Supardi.

“Ini gimmick dalam marketing Pak Ustadz. Supaya peserta termotivasi dan punya persepsi bahwa menulis itu mudah,” jelas saya.

“Kami setuju saja. Segera kami proses di internal untuk program pelatihannya,” jawabnya.

Benarkah menulis buku bisa selesai dalam 2 hari? Dengan teknik khusus, waktu dua hari cukup untuk menyelesaikan 1 buku. Bukan sekedar buku asal jadi.

Saya pernah membuat modul pelatihan menulis buku 7 jam bisa. Kalau modul ini diajarkan nonstop, hanya butuh 1 hari. Pada hari kedua, peserta langsung praktik.

Pada akhir sesi hari kedua, naskah sudah siap. Tinggal masuk ke editing dan desain. Maka, boleh dikata buku sudah selesai 90 persen. Jadi, workshop menulis buku dua hari jadi itu benar-benar bisa.

Di Sipirok itulah pembuktiannya.(jto)

Komentar